Secara etimologis, kata Brahma dalam lidah Jawa mengalami asimilasi fonetik menjadi Bromo (atau Brama dalam dialek Tengger). Penelitian Robert W. Hefner (1985) menyebut bahwa masyarakat Tengger masih menyebut gunung ini sebagai Gunung Brama, bukan Bromo.
Transformasi ini tidak sekadar perubahan bunyi, melainkan perubahan makna. Dalam kosmologi India, Brahma adalah sang pencipta dunia — bagian dari trimurti bersama Wisnu (pemelihara) dan Siwa (pelebur). Namun dalam tafsir Jawa kuno, terutama sejak masa Singhasari dan Majapahit, Brahma bukan figur antropomorfis, melainkan lambang daya api penciptaan — kekuatan yang menghidupkan dan sekaligus memurnikan.