Asal-Usul Nama Tengger: Antara Keteguhan Gunung, Luhur Budaya, dan Warisan Siwa–Budha Majapahit

Secara linguistik, kata Tengger dapat ditelusuri ke dalam bentuk-bentuk bahasa Jawa Kuno dan Austronesia awal.
Dalam Kamus Jawa Kuna karya Zoetmulder (1982), ditemukan kata dasar tĕngĕh atau tĕnggĕh yang berarti tinggi, luhur, tegak, tetap, kokoh.[1]
Sementara itu, unsur ger diperkirakan berasal dari akar kata Proto-Austronesia gar/ger yang bermakna kekuatan, getaran, atau inti bumi.[2]

Gaya Bersarung Perempuan Suku Tengger: Simbol Status Sosial dan Identitas Budaya

Makna Empat Letak Simpul Sarung: Dari Pundak Kanan hingga Pundak Kiri Pendahuluan Salah satu identitas visual yang paling khas dari Suku Tengger adalah penggunaan sarung — tidak hanya untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan dengan variasi cara pemakaian yang bermakna status sosial. Artikel ini menggali secara mendalam makna budaya penggunaan sarung oleh perempuan Tengger, bagaimana […]

Asimilasi Ajaran Siwa–Budha: Warisan Majapahit yang Hidup di Tengger

(Bukan Hindu Bali, tapi Sinkretisme Jawa Kuno) Agama dan kepercayaan masyarakat Tengger di lereng Gunung Bromo sering disalahpahami sebagai “Hindu Bali versi Jawa Timur”. Padahal secara historis, teologis, dan etnografis, Tengger adalah pewaris langsung tradisi Siwa–Budha Majapahit, bukan hasil penyebaran agama Hindu dari Bali. Penyebutan “Hindu” pada masyarakat Tengger baru muncul pada era modern, ketika […]

Gunung Brahma: Ketika Dewa India Menjadi Jiwa Jawa

Secara etimologis, kata Brahma dalam lidah Jawa mengalami asimilasi fonetik menjadi Bromo (atau Brama dalam dialek Tengger). Penelitian Robert W. Hefner (1985) menyebut bahwa masyarakat Tengger masih menyebut gunung ini sebagai Gunung Brama, bukan Bromo.

Transformasi ini tidak sekadar perubahan bunyi, melainkan perubahan makna. Dalam kosmologi India, Brahma adalah sang pencipta dunia — bagian dari trimurti bersama Wisnu (pemelihara) dan Siwa (pelebur). Namun dalam tafsir Jawa kuno, terutama sejak masa Singhasari dan Majapahit, Brahma bukan figur antropomorfis, melainkan lambang daya api penciptaan — kekuatan yang menghidupkan dan sekaligus memurnikan.

Jejak Siwa–Budha di Punggung Tengger: Agama Asli Warisan Majapahit yang Bertahan di Lereng Bromo

Sebelum Majapahit berdiri, Jawa Timur telah diwarnai konflik antara dua kekuatan spiritual: Wisnuistik Kediri dan Siwaistik Singhasari

Menurut tafsir sastra dan sejarah yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya, Airlangga dan Kertajaya dari Kediri adalah pengikut aliran Wisnu — dewa pemelihara dan simbol raja suci (dewaraja). Dalam sistem itu, raja dipertuhankan sebagai titisan Wisnu. Namun, muncul kritik keras dari kalangan resi Siwa, terutama Resi Lohgawe, yang menganggap pengkultusan manusia sebagai dewa adalah penyimpangan dari dharma sejati.

Musim Terbaik ke Bromo dan Pesonanya di Setiap Waktu 🍃

Bromo tidak pernah salah musim — yang ada, hanya vibes yang berbeda.Bromo tidak pernah salah musim — yang ada, hanya vibes yang berbeda.

Mau langit biru bersih dan sunrise sempurna? Datanglah saat kemarau.

Mau suasana hijau dan lautan awan mistis? Musim hujan jawabannya.

Mau tenang dan tidak ramai? Coba waktu peralihan.
Setiap musim di Bromo punya cerita sendiri. Tinggal kamu, mau datang untuk cerita yang mana? 💚

Login